PARANGMAYA – Gejolak COVID-19 telah mengganggu vaksinasi rutin di Indonesia. Para ahli memperingatkan negara Indonesia, agar tetap menghadapi peningkatan penyakit menular, bahkan saat berjuang untuk menahan pandemi virus corona.
Sebelum pandemi, lima cucu Mamik Nariati diberikan imunisasi gratis untuk penyakit seperti polio, gondok, dan Hepatitis B di sekolah mereka di kota Surabaya, Jawa Timur.
“Tapi sejak sekolah online dimulai tahun lalu, tidak ada lagi program imunisasi,” katanya kepada Al Jazeera.
Anak-anak itu termasuk di antara 800.000 anak Indonesia, yang melewatkan vaksinasi rutin tahun lalu. Karena gangguan layanan pandemi telah melonjak 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sebagaimana data yang dikumpulkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF, Sebagaimana dilansir dari Al jazeera pada Senin, tanggal 26 Juli 2021.
Ledakan kasus COVID -19 Indonesia, yang kini telah melampaui India dan Brasil, telah menjadikan hotspot bagi virus corona terbaru di dunia. Pada hari Senin, dengan rumah sakit yang kewalahan berjuang untuk merawat orang sakit, jumlah kematian mencapai rekor 1.338 pada hari Senin.
Hal ini diperburuk lagi, karena tingkat infeksi COVID-19 untuk anak-anak di Indonesia, juga termasuk yang tertinggi di dunia. Tercatat satu dari delapan atau 362.000 kasus yang dikonfirmasi, menurut Perhimpunan Dokter Anak Indonesia. Lebih dari 700 anak Indonesia telah meninggal karena virus, setengah dari mereka di bawah usia lima tahun. Tanpa suntikan rutin masa kanak-kanak, mereka juga berisiko terkena beberapa penyakit paling mematikan di dunia.
“Memang benar ada penurunan imunisasi rutin untuk anak-anak dari Maret hingga Desember tahun lalu karena anak-anak tidak sekolah, tempat umum dan rumah sakit, sehingga cakupannya rendah,” kata Dr Siska Sinardja, juru bicara lembaga itu. Ikatan Dokter Anak Indonesia, kepada Al Jazeera. “Efek keterlambatan imunisasi pada anak akan meningkatkan penyakit menular. Namun belum ada data mengenai hal ini karena angka COVID masih meningkat dan semua fokus untuk memerangi COVID di Indonesia.”
Program vaksin di negara berkembang, berhasil mencegah 37 juta kematian di seluruh dunia dalam 20 tahun terakhir. Hal ini diutarakanoleh Konsorsium Pemodelan Dampak Vaksin, kolaborasi global dari 16 kelompok penelitian, yang menerbitkan studi paling komprehensif tentang efek program vaksinasi. Studi ini diterbitkan di jurnal Lancet pada bulan Januari.
“Besarnya ini tidak bisa diremehkan. Sebagai hasil dari vaksinasi sederhana, 36 juta keluarga tidak dibiarkan berduka untuk anak atau bayi mereka – dan anak-anak ini diberi kesempatan untuk tumbuh dewasa,” kata Profesor Neil Ferguson di Imperial College London’s School of Health, juru bicara konsorsium. Konsorsium juga memperkirakan 32 juta kematian lebih lanjut, dapat dicegah pada tahun 2030 jika program vaksin dilanjutkan.
Tetapi gangguan pada program vaksinasi di seluruh dunia sebagai akibat dari pandemi membuat target tidak mungkin tercapai.
Data WHO/UNICEF menunjukkan, bahwa cakupan global dari vaksin rutin anak turun dari 86 persen pada 2019, menjadi 83 persen tahun lalu. Dan bahwa 3,7 juta lebih anak-anak, melewatkan vaksin umum mereka, jumlah tertinggi sejak 2009.
Menurut catattan terbaru bahwa Asia menyumbang dua pertiga, dari semua anak tambahan yang gagal melakukan suntikan imunisasi tahun lalu, sisanya menyebar melalui Afrika dan Amerika Selatan.
Kementerian Kesehatan Indonesia telah berusaha untuk memperbaiki masalah tersebut. Prima Yosephine, direktur pengawasan dan karantina di kementerian, mengakui bahwa pandemi memengaruhi program vaksinasi anak rutin, tahun lalu karena “tidak ada alternatif yang diterapkan, dan orang takut membawa anak-anak mereka ke tempat umum”.
Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pada akhir tahun lalu, kementerian berjanji untuk vaksinasi anak-anak di puskesmas, 10.000 klinik kesehatan gratis di Indonesia.
Pekan Imunisasi Sedunia pada bulan April, kementerian juga memperkenalkan janji multi-suntikan di puskesmas bagi anak-anak untuk mengejar ketinggalan.
“Jadi walaupun vaksinasinya tertunda, anak-anak masih mendapatkan vaksin lengkapnya,” kata Yosephine.
Ibu tiga anak Sarigita Andika Wati, mengaku sudah bisa mengimunisasi ketiga anaknya tahun ini, setelah menunjukkan kartu Jaminan Kesehatan Nasionalnya di sebuah puskesmas di Bali.
Tetapi hanya 81 persen orang Indonesia yang menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional, sementara Mamik Nariati di Surabaya, kota berpenduduk empat juta orang, mengatakan vaksin untuk cucu kembarnya yang berusia dua tahun tidak tersedia di puskesmas setempat.
Yosephine mengaitkan kekurangan tersebut, dengan staf di puskesmas yang kelebihan pekerjaan, karena tingginya jumlah kasus COVID-19.
Sumber di Jawa mengkonfirmasi kepada Al Jazeera bahwa ribuan puskesmas di pulau itu telah diubah menjadi bangsal isolasi dan kamar mayat sementara.
Gavi, Aliansi Vaksin yang memasok miliaran vaksin COVID-19 gratis untuk negara-negara berkembang, mengatakan negara-negara seperti Indonesia, yang paling terpukul oleh pandemi. Upaya ini berguna untuk menutup kesenjangan, dalam imunisasi rutin anak-anak.
“Ini adalah peringatan – kita tidak bisa membiarkan warisan COVID-19 menjadi kebangkitan campak, polio, dan pembunuh lainnya,” kata Dr Seth Berkley, kepala eksekutif Gavi. “Kesehatan dan kesejahteraan masa depan jutaan anak dan komunitas mereka di seluruh dunia bergantung padanya.”***
Sumber : Al Jazeera