PARANGMAYA – Islam sangat tegas menentang aksi pedofilia, dan hukuman bagi pelakunya berupa ta’zir. Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Nurul menjelaskan bahwa sanksi ta’zir, tidak bisa dianggap lebih ringan dari pada hudud. Karena yang menjadi korbannya adalah anak-anak dengan cara penyimpangan seksual. Sehingga tingkat kejahatan perilakunya, lebih parah dari sekadar zina.
Dia mengaitkannya dengan dalil liwath (perbuatan homoseks) mengenai sanksinya. Ini sebagaimana hadits riwayat dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barang siapa yang Anda temui melakukan kejahatan umat Nabi Luth, maka bunuhlah yang melakukan maupun yang diperlakukan.”
Ta’zir dapat dijalankan dengan tindakan seperti: memukul, mencambuk, menahan di dalam penjara, mengikat, dan bisa juga dibunuh.
“Karena korbannya adalah anak-anak. Praktiknya tentu jika korbannya laki-laki menjalankannya dengan cara perbuatan liwat atau sodomi,” katanya, sebagaimana dilansir dari mui.or.id pada Jumat, tanggal 10 September 2021.
Kiai Nurul menguatkan perspektifnya dengan mengutip salah satu khalifah Dinasti Umayyah, Al Walid bin Abdul Malik:
إنه لولا أن الله تعالى ذكر قصة قوم لوط في كتابه العزيز لما تخيلت أن رجلاً يأتي رجلاً
“Sungguh, seandainya Allah SWT tidak menyebutkan kisah kaum Luth dalam kitabnya yang mulia (Alquran), saya tak bisa bayangkan lelaki akan bersetubuh dengan lelaki.”
Penarikan hukum Islam dalam persoalan ini, terkait dengan aksi predator seksual anak di Indonesia yang memprihatinkan.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPA) menyebutkan, bahwa kasus kekerasan pada anak mencapai11.419 pada tahun 2021. Korban laki-laki berjumlah 2.444, dan korban perempuan mancapai 9.914 kasus. Adapun kekerasan seksual berjumlah 4.551 kasus.
Kiai Nurul Irfan menuturkan, jika ada yang bernafsu dengan anak-anak sebelum tumbuh kumis ini, maka dia adalah masuk kedalam kelompok orang yang menyandang penyakit pedofilia. “Tetapi dalil-dalil, indikasi adanya amrad ini ada dalam berbagai literatur kitab,” tuturnya.
Sedangkan sangsinya ketika memakai analogi hukum liwath, maka para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama sanksinya seperti zina, dirajam sebagaimana rajam untuk zina muhsan (zina yang pelakunya sudah berkeluarga). Jika masih lajang, dia dicambuk dan diasingkan.
Kedua, pelaku dan objeknya harus dibunuh. Ini merujuk hadits Ibnu Abbas di atas. Dengan syarat, hukum ini berlaku jika kedua-nya sama-sama suka, bukan paksaan di bawah ancaman. Sebagian ulama menyebut pendapat ini lah yang kuat.
Ketiga, diasingkan di tempat tinggi, seperti perbukitan atau gunung. Lalu dihujani dan dilempari batu. Ini sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas. Merujuk pada surat Al Hijr ayat 74:
فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ
“Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.”
(Sadam Al-Ghifari/ Nashih)***
Sumber : Majelis Ulama Indonesia